Oleh : Adi Attsani, SH. Adv
(Penulis adalah Divisi Kajian & Advokasi, LBH PU Jateng)
SuaraPantura.com - Akhir-akhir ini isu tentang LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender mencuat kembali ke publik. Apalagi setelah grup band asal London, Coldplay berencana akan menggelar konser di Jakarta pada 15 November 2023 yang akan datang, konon harga tiketnya pun cukup fantastis. Kedatangan grup band yang populer dengan lagu “Yellow” ini menuai pro-konta publik, apalagi setelah diketahui vokalisnya Chris Martin merupakan pendukung LGBT, dan kerap membawa bendera LGBT pada konsernya.
Sebetulnya, LGBT bukanlah isu baru di negeri ini. Isu ini semacam proxy war yang di impor atau bahkan sengaja disusupkan masuk ke dalam negeri. Namun, kali ini saya tidak sedang membahas tentang konspirasi terkait hal itu.
Fenomena kaum LGBT merupakan persoalan hukum, sebab hal tersebut merupakan perbuatan hukum, yakni perbuatan yang berkaitan dengan seksualitas. Dimana para pelaku LGBT ini mereka memperjuangkan eksistensinya untuk diakui secara legal di Indonesia. Beberapa waktu lalu misalnya, AILA (Aliansi Cinta Keluarga) meminta hubungan sejenis dilegalkan oleh MK atau Mahkamah Konstitusi. Adapun materi gugatan AILA tersebut adalah pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang mengatur perzinahan, pemerkosaan, dan pencabulan anak. Namun, dalam putusannya MK menolak permohonan tersebut.
Secara norma, baik norma agama, norma sosial maupun norma hukum seksualitas merupakan perbuatan yang memiliki nilai kesucian. Oleh karenanya, hal tersebut diatur dalam suatu ikatan perkawinan, di Indonesia hal tersebut diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan : “Perkawinan ialah ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sementara pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan yang suci yang tujuannya adalah membentuk keluarga yang kekal dan bahagia yakni bertujuan melahirkan keturunan. Sementara perilaku seksualitas LGBT menentang kodrat tersebut, sehingga tidak mungkin mendapat keturunan.
Sebuah perkawinan dalam frasa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sependek pengetahuan saya, bahwa semua agama ataupun kepercayaan apapun yang diakui di Indonesia tidak ada satupun yang membolehkan pernikahan sesama jenis. Perbuatan tersebut selain bertentangan dengan fitrah manusia juga merupakan tindakan yang melanggar norma agama. Sebagiamana ketentuan dalam pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
Sehingga jelas, bahwa LGBT merupakan perbuatan yang secara hukum bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Meskipun dilakukan atas dasar suka-sama suka, apalagi ada sebagian kalangan yang ingin melegalkan hubungan tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Baca Juga: Walikota Tegal Ditelpon Menko PMK Muhadjir Effendy, Ada Apa?
Perbuatan Melawan Hukum tersebut adalah pelanggaran terhadap UU Perkawinan, yakni sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 UU Perkawinan, "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Pendapat ini juga diperkuat oleh salah satu pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul. Menurutnya LGBT itu dilarang berasal dari semangat UU Perkawinan yang secara gamblang menyebut ikatan lahir batin antara pria dengan wanita.
Sebagiamana dikutip dari CNN, ia mengatakan "Semangat UU Perkawinan itu melarang LGBT. Perkawinannya dilarang pasti turunannya dilarang dong. Ini penafsiran".
Bahkan, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan paksaan, intimidasi ataupun bujuk rayu dapat dikategorikan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. Sehingga tidak heran kiranya pendukung kelompok ini memperjuangkan untuk mengubah ketentuan dalam beberapa pasal KUHP sebagaimana tersebut diatas, di MK untuk dilakukan Judivial Review. Namun, sekali lagi kita perlu mengapresiasi keputusan MK yang telah menolak permohonan tersebut.
Artikel Terkait
Apakah Richard Eliezer Masih Tetap Jadi Polisi Usai Menerima Vonis?
Blakasuta : Jangan Mau Jual Tanah Untuk Jalan Tol, Sewakan Saja Biar Rakyat Tak Kehilangan Aset!
Cara Membuat Surat Kuasa, Mudah dan Sederhana
Kualitas Pelaksanaan Pemilu, Narasi Penting Agar Masyarakat Tidak Apolitik
Dampak Hukum Adopsi Anak Terhadap Hukum Kekeluargaan Dalam Konteks Waris dan Nasab
Pembentukan Karang Taruna Desa Kejene Tinggal Menunggu Tanda Tangan Kepala Desa, Begini Respon Pemuda Pemalang
Pawai Obor Warnai Perayaan Malam Takbiran Desa Kejene Pemalang
Baliho Bakal Calon Bupati Pemalang Diturunkan, Baru Bakal Calon Sudah Melanggar Aturan?
Tiga Tahun Perjalanan Program Kampus Merdeka, Sudahkah memberikan Kemerdekaan bagi Mahasiswa?
Sah! Lukman Sahri Terpilih Menjadi Ketua Karang Taruna Desa Kejene